Skip to main content

Antara Memaksakan Pendapat, Mengambil Pendapat, Mengutarakan Pendapat dan Menjelaskan Pendapat

Sebagian dari diri kita bahkan termasuk para ustadz terkadang ambigu kepada empat macam masalah. Yaitu Memaksakan Pendapat, Mengambil Pendapat, Mengutarakan Pendapat dan Menjelaskan Pendapat. Kenapa bisa begitu?

Misalnya kita bahas pendapat "Qunut Subuh". Persoalan Qunut Subuh sudah barang tentu menjadi sebuah perbedaan pendapat. Dari sejak zaman dulu sampai sekarang persoalan ini tidak akan pernah selesai karena memang ada perbedaan pendapat dari kedua macam madzhab. Namun ternyata ada sebagian orang yang punya pemahaman seperti ini:

1. Pendapat madzhab A benar.
2. Pendapat madzhab B salah.
3. Semuanya benar.

Sebagaimana yang namanya pendapat terlebih dalam dunia fiqih, maka kita harus tahu bahwa setiap pendapat pasti punya perbedaan. Dan jangan dianggap bahwa apabila seseorang punya pendapat berbeda maka pendapat yang tidak sama dengan dirinya sudah pasti salah. Ini tidak benar.

Jadi kalau ada orang mengatakan "Qunut Subuh Bid'ah" berdasarkan pendapat madzhabnya dan memang ada ulama yang berpendapat demikian maka kita tidak bisa menyalahkannya. Sama seperti ketika orang mengatakan bahwa "Qunut Subuh Sunnah" maka kita juga tidak bisa menyalahkannya. Namun persoalan "tidak bisa menyalahkan" ini pada porsi yang mana? Pada sisi yang mana?

Kalau maksud tidak bisa menyalahkan pada sisi memaksakan pendapat. Maka ini berarti pada posisi yang benar. Kalau ini pada posisi mengutarakan pendapat dan menjelaskan pendapat bahwa ada pendapat "Qunut Subuh Sunnah" dan pendapat "Qunut Subuh Bid'ah" maka ini bis dibenarkan. Tapi kalau pada porsi "mengambil pendapat" maka tunggu dulu.

Seseorang yang mengambil pendapat sudah barang tentu ia akan menganggap pendapat yang dia ambil benar. Semisal seseorang yang mengambil pendapat "Qunut Subuh Sunnah" maka ia akan menganggap bahwa qunut subuh benar-benar sunnah dan pendapat ini 100% benar. Dia secara otomatis akan menganggap bahwa "Qunut Subuh Bid'ah" adalah pendapat yang 100% salah. Tidak bisa dipungkiri hal ini terjadi. Demikian juga sebaliknya terjadi kepada orang yang menganggap "Qunut Subuh Bid'ah". Ingat! Berarti di dalam mengambil pendapat kita akan dihadapkan kepada persoalan "pendapat yang kita ambil adalah yang mendekati kebenaran". Maka sudah otomatis pendapat yang berseberangan dengan kita adalah pendapat yang salah.

Persoalannya menjadi rumit ketika saudara kita terutama para mubaligh dan ustadz mereka hanya pada porsi "mengutarakan" dan "menjelaskan" pendapat-pendapat fiqih para ulama. Ketika umat ditanya "Saya harus milih yang mana?" maka mereka menjawab dengan jawaban diplomatis yang seolah-olah mereka sendiri tidak tahu mana pendapat mereka sendiri. Saya sering menemui yang seperti ini. Entah apa maksud dari para ustadz ini, kenapa mereka berbuat demikian. Kenapa mereka tidak seperti para ulama terdahulu yang GIGIH dengan pendapatnya. Coba tanya kepada Imam Nawawi apa hukum Qunut Subuh? Beliau akan menjawab "Sunnah". Beliau juga tahu ada pendapat lainnya yang mengatakan "Qunut Subuh Bid'ah" tapi beliau mengambil pendapat ini.

Jawaban diplomatis para ustadz itu seperti apa sih?

Jawabannya seperti ini, "AMBIL YANG MENURUT BAPAK BENAR"

Helloo?? Pak Ustadz? Yang bener pak? Ini yang bertanya orang awam. Yang mungkin dia jarang baca hadist apalagi mempelajari ilmu fiqih seperti pak ustadz. Kenapa pak ustadz malah menyerahkan urusan sebesar ini kepada orang yang ilmunya cetek? Bukankah adanya seorang ustadz itu agar orang awam terbantu untuk mengambil pendapat dari banyaknya pendapat para ulama???

Kenapa pak ustadz tidak menjawab saja, "SAYA AMBIL PENDAPAT QUNUT SUBUH BID'AH" atau "SAYA AMBIL PENDAPAT QUNUT SUBUH SUNNAH" kemudian jelaskan alasannya. Selesai urusan sampai di situ.

Orang awam seperti saya akan melaksanakan apa yang dijelaskan oleh pak ustadz.

Nah, kasus yang lain adalah seperti ini. "APAKAH SAMPAI PAHALA BACAAN AL-QUR'AN KEPADA SI MAYIT?"

Ketika pak ustadz ditanya seperti ini beliau malah menjelaskan banyak pendapat. Dari mulai yang "sampai" sampai yang "tidak sampai". Bahkan dengan sombong salah seorang ustaz sampai mengatakan yang mengatakan "tidak sampai" kurang piknik. Masyaa Allah, sombongnya. Pak ustadz anda ini panutan. Apakah sepantasnya kita menyombongkan diri di hadapan Allah? Apakah dengan mengatakan kurang piknik di sini berarti ilmu pak ustadz lebih tinggi? Subhanallah.

Seharusnya sebagai seorang ustadz, tempat di mana orang awam seperti saya bertanya jawaban Pak ustadz cukup sederhana, "PAHALANYA SAMPAI" atau "PAHALANYA TIDAK SAMPAI". Kemudian dijelaskan sedikit alasannya yang mudah dicerna orang awam. Selesai urusan. Tentunya akan sangat berbeda kalau pak ustadz sedang mengajarkan kepada para mahasiswa yang kuliah di ma'had di mana pak ustadz harus menjelaskan berbagai pendapat fiqih. Ini orang awam pak ustadz. Jangan dibebani dengan urusan "AMBIL PENDAPAT YANG MENURUT ANDA BENAR". Kacau.....

Fenomena seperti ini sering saya jumpai. Dan tak sedikit para ustadz banyak yang sombong dengan pengetahuan ilmu agama mereka. Allahu musta'an.

Comments

Popular posts from this blog

Lawan kata Sunnah adalah Bid'ah

Para ulama membuat sebuah istilah lawan kata dari Sunnah adalah bid'ah. Sebagai contohnya adalah talak sunnah dan talak bid'ah. Yang mana hal ini sudah dikenal dalam ilmu fiqih. Talak sunnah yaitu seorang suami yang menalak satu istrinya dalam kondisi tidak sedang haidh atau pada saat hamil dan tidak setelah dihubungi dalam keadaan suci. Sedangkan talak bid'ah adalah kebalikannya. Kata "as Sunn ah" digunakan sebagai lawan "Al Bid'ah" secara mutlak. Bila dikatakan, "Fulan di atas sunnah" maka berarti dia berbuat sesuai yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, baik hal itu tertulis dalam Al Qur'an maupun tidak. Dan bila dikatakan "Fulan di atas bid'ah" maka berarti dia berbuat yang bertentangan dengan As Sunnah, karena dia melakukan hal baru yang tidak termasuk dalam agama, dan setiap perbuatan yang baru dalam agama adalah bid'ah. Maka setiap hal baru dalam agama yang diperbuat orang yang t

Kenapa harus pakai ana, anta, anti, antum?

Kenapa harus pake ana, anti, anta, antum? Pertama, nggak ada bedanya ketika seseorang bilang elo, gue, situ, you, ai padahal yang bilang "elo" "gue" belum tentu orang betawi. Padahal juga yang bilang "you" "I" belum tentu orang Inggris. Jadi apa ada masalah dengan sebutan ana, anti, anta, antum? Kedua, umat Islam harus bangga dengan bahasa Al Qur'an, yaitu bahasa arab. Lho, berarti ia sinting do ng, masa' bahasanya sendiri ndak bangga. Ya samalah, kenapa juga harus bangga berbahasa Inggris padahal bahasa sendiri juga ndak bangga. Bukan itu poinnya. Al Qur'an memakai bahasa arab, dan TIDAK mungkin bisa memahami kandungan Al Qur'an lebih dalam kecuali dengan bahasa arab. Maka dari itu bahasa arab dianggap sebagai bahasa Al Qur'an. Karena simbol Islam adalah bahasa arab ini, maka tak ada salahnya ketika menyapa orang pake ana, anti, anta, antum, hitung-hitung sebagai belajar. Ya kalau fasih silakan saja pake bahasa arab, tapi ya

Tanah Syam

Dan ketika tanah Syam terbuka malaikat-malaikat turun ke sana darah-darah menyuburkan ladang-ladang mereka pekikan tahlil, takbir membahana di seluruh penjuru negerinya Dan do'a-do'a dipanjatkan Sujud-sujud dipanjangkan Qunut-qunut didengungkan Dinar dan dirham dikeluarkan Peluru-peluru dilemparkan Lantunan ayat-ayat Al Qur'an diucapkan Tiap hari adalah jihad Tiap hari adalah bertahan hidup Panas dan dinginnya dunia adalah biasa bagi mereka Namun panas dan dinginnya neraka tak akan sanggup kita terima Tanah Syam, yang Allah merahmatinya sampai akhir zaman Yang Allah muliakan dengan turunnya 'Isa Al Masih Yang Allah muliakan dengan matinya Ad Dajjal Andai kamu punya kekuatan ikhwah Bantulah saudara-saudaramu di sana Andai kamu hanya punya harta ikhwah Bantulah dengan dinar dan dirhammu Andai kamu hanya bisa berdo'a wahai ikhwah Do'amu adalah yang paling berharga bagi mereka Sesungguhnya Allah tempat akhir segala tujuan Kepunyaan-Nyalah apa yang ada di langit dan