"Kenapa kalian berubah?!" (Umar ibn Khattab)
Tahun 1998, menjelang kejatuhan Soeharto, saya mengenal baik beberapa aktivis mahasiswa Islam dari kalangan jamaah tarbiyah (cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera). Mereka rata-rata adalah anak-anak muda yang bersahaja, cerdas, rendah hati dan sopan. Kala itu, saya ingat masih sempat berkata dalam hati: jika mereka kelak dipilih sebagai pemimpin, pasti rakyat tak akan menyesal.
Ternyata saya keliru. Dua belas tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan mereka dan mereka telah banyak berubah. Bahwa mereka menjadi wakil rakyat, ramalan saya betul. Tapi sebagai wakil rakyat yang cerdas, rendah hati,sopan, terlebih bersahaja? Itu jauh panggang dari api. Alih-alih bersahaja, mereka kini bergaya bak eksekutif kelas atas lengkap dengan mobil-mobil mewah dan sikap jaim-nya. Sebagai wartawan dan sekaligus teman, saya sempat bertanya soal perubahan gaya hidup ini kepada salah satu dari mereka, mau tahu jawabnya? “Ini demi harga diri Islam, masa orang Islam kesannya harus miskin terus?”
Jawaban yang hampir senada juga dilontarkan oleh Anis Matta. Ustadz muda yang sejak dulu namanya saya kenal sebagai seorang yang cerdas dan sederhana ini, tiba-tiba diberitakan oleh media gaya hidupnya berubah drastis setelah menjadi anggota DPR yang terhormat. Salah satu buktinya adalah, untuk sekadar "melihat waktu" saja membeli sebuah jam tangan rolex seharga 70 juta rupiah. Anis berkilah, pembelian jam tangan itu hanyalah sebuah kepantasan sebagai pejabat public. Kepantasan menurut siapa? Hanya Tuhan dan dia yang tahu soal itu.
"Lebih kepada kepantasan. jam tangan Rolex hanya sebagai aksesori bukan hobi," kata Anis ketika ditanya oleh pers beberapa waktu yang lalu.
Saya tertawa mendengar jawaban itu, karena jadi teringat kata-kata Abraham Lincoln. Dia bilang, kalau anda ingin menguji karakter sejati seorang pria, maka berilah dia kekuasaan. Saya tertawa bukan mengejek mereka, tapi justru menertawakan diri saya sendiri. Saya membayangkan jika saya menjadi seorang pejabat atau wakil rakyat, maka yang terjadi pasti saya seperti mereka juga, bahkan mungkin lebih korup dan brengsek. Itulah yang menyebabkan hingga kini, saya tidak pede untuk masuk partai politik manapun terlebih menjadi wakil rakyat. Lagian siapa pula yang mau memilih saya?Geer.
Seorang teman yang aktif di PKS di kota saya (sekarang sudah almarhum), pernah mengeluhkan soal ini lewat email. Ia bilang, kini merasa asing dengan kondisi PKS, yang sudah banyak berubah dan tak berbeda dengan partai-partai lain. “Mungkin mereka begitu karena tak bisa menahan syahwat politiknya,”tulisnya beberapa tahun yang lalu.
Namun benarkah itu semua demi “harga diri Islam” ? Saya coba menjawab pertanyaan itu dengan sebuah kejadian lebih dari seribu tahun yang lalu. Sebuah kejadian nyata yang dialami oleh para sahabat Nabi, yang mana selalu menjadi acuan kawan-kawan PKS dalam bersikap dan bertindak.
Tahun 636 M, ketika Kekhalifahan Islam merebut Yerusalem dari tangan Kekaisaran Romawi, Khalifah Umar ibn Khattab harus menerima langsung penyerahan kunci kota tua itu dari tangan Uskup Agung Sophronius.Umar menyanggupi untuk datang. Begitu undangan tiba, besoknya ia berangkat dari Madinah. Beberapa hari kemudian iapun tiba di Yerussalem. The Historians of the World jilid VIII melukiskan peri keadaan Umar ketika tiba di kota suci tiga agama itu. Kendati ia adalah seorang “presiden” dari sebuah negara yang menaklukan Persia dan Syiria, namun penampilannya jauh dari kemewahan. “Umar datang hanya bersama seorang hamba sahaya, dengan menunggang seekor unta merah, membawa sekarung gandum, sekantung kurma, sebuah kantung terbuat dari kulit binatang, serta selembar tikar untuk shalat. Pengawalan pasukan yang ditawarkan, ia tolak”
Syahdan orang Kristen dan Yahudi Yerusalem yang menyaksikan kondisi Umar itu jadi menaruh rasa hormat dan kagum. Sebelumnya, mereka tak pernah melihat seorang penguasa besar berpenampilan laiknya rakyat kebanyakan. Tak juga Kisra Persia dan Kaisar Romawi.
Begitu sampai di perbatasan, kening Umar mengernyit. Kebalikan dari dirinya, ia justru menyaksikan para panglimanya menunggang kuda mewah dengan pakaian lengkap terbuat dari ragam sutera yang indah-indah. Demi melihat pemandangan tersebut, Umar tiba-tiba turun dari atas unta merahnya.
“Kenapa kalian berubah?!” teriaknya seraya mengambil beberapa genggam pasir, yang lantas ia lemparkan ke arah para panglimanya. Dengan cara itu, rupanya Umar ingin mengkritik perubahan gaya hidup para sahabat yang dinilainya telah melupakan nilai-nilai kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah.
Semua sahabat terdiam. Beberapa lantas berusaha menenangkan Umar. Sang khalifah tetap masih bertanya: “Kenapa kalian berubah?”
Salah seorang dari mereka lantas menjawabnya: “Ya amirul mukminin, ini kami lakukan semata-mata karena demi harga diri muslim di mata pemuka-pemuka Yahudi dan Kristen itu.” Tak saya nyana, alasan yang sama juga ternyata masih relefan hingga ribuan tahun kemudian. [hendijo/islam-indonesia/ilustrasi:istimewa]
Tahun 1998, menjelang kejatuhan Soeharto, saya mengenal baik beberapa aktivis mahasiswa Islam dari kalangan jamaah tarbiyah (cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera). Mereka rata-rata adalah anak-anak muda yang bersahaja, cerdas, rendah hati dan sopan. Kala itu, saya ingat masih sempat berkata dalam hati: jika mereka kelak dipilih sebagai pemimpin, pasti rakyat tak akan menyesal.
Ternyata saya keliru. Dua belas tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan mereka dan mereka telah banyak berubah. Bahwa mereka menjadi wakil rakyat, ramalan saya betul. Tapi sebagai wakil rakyat yang cerdas, rendah hati,sopan, terlebih bersahaja? Itu jauh panggang dari api. Alih-alih bersahaja, mereka kini bergaya bak eksekutif kelas atas lengkap dengan mobil-mobil mewah dan sikap jaim-nya. Sebagai wartawan dan sekaligus teman, saya sempat bertanya soal perubahan gaya hidup ini kepada salah satu dari mereka, mau tahu jawabnya? “Ini demi harga diri Islam, masa orang Islam kesannya harus miskin terus?”
Jawaban yang hampir senada juga dilontarkan oleh Anis Matta. Ustadz muda yang sejak dulu namanya saya kenal sebagai seorang yang cerdas dan sederhana ini, tiba-tiba diberitakan oleh media gaya hidupnya berubah drastis setelah menjadi anggota DPR yang terhormat. Salah satu buktinya adalah, untuk sekadar "melihat waktu" saja membeli sebuah jam tangan rolex seharga 70 juta rupiah. Anis berkilah, pembelian jam tangan itu hanyalah sebuah kepantasan sebagai pejabat public. Kepantasan menurut siapa? Hanya Tuhan dan dia yang tahu soal itu.
"Lebih kepada kepantasan. jam tangan Rolex hanya sebagai aksesori bukan hobi," kata Anis ketika ditanya oleh pers beberapa waktu yang lalu.
Saya tertawa mendengar jawaban itu, karena jadi teringat kata-kata Abraham Lincoln. Dia bilang, kalau anda ingin menguji karakter sejati seorang pria, maka berilah dia kekuasaan. Saya tertawa bukan mengejek mereka, tapi justru menertawakan diri saya sendiri. Saya membayangkan jika saya menjadi seorang pejabat atau wakil rakyat, maka yang terjadi pasti saya seperti mereka juga, bahkan mungkin lebih korup dan brengsek. Itulah yang menyebabkan hingga kini, saya tidak pede untuk masuk partai politik manapun terlebih menjadi wakil rakyat. Lagian siapa pula yang mau memilih saya?Geer.
Seorang teman yang aktif di PKS di kota saya (sekarang sudah almarhum), pernah mengeluhkan soal ini lewat email. Ia bilang, kini merasa asing dengan kondisi PKS, yang sudah banyak berubah dan tak berbeda dengan partai-partai lain. “Mungkin mereka begitu karena tak bisa menahan syahwat politiknya,”tulisnya beberapa tahun yang lalu.
Namun benarkah itu semua demi “harga diri Islam” ? Saya coba menjawab pertanyaan itu dengan sebuah kejadian lebih dari seribu tahun yang lalu. Sebuah kejadian nyata yang dialami oleh para sahabat Nabi, yang mana selalu menjadi acuan kawan-kawan PKS dalam bersikap dan bertindak.
Tahun 636 M, ketika Kekhalifahan Islam merebut Yerusalem dari tangan Kekaisaran Romawi, Khalifah Umar ibn Khattab harus menerima langsung penyerahan kunci kota tua itu dari tangan Uskup Agung Sophronius.Umar menyanggupi untuk datang. Begitu undangan tiba, besoknya ia berangkat dari Madinah. Beberapa hari kemudian iapun tiba di Yerussalem. The Historians of the World jilid VIII melukiskan peri keadaan Umar ketika tiba di kota suci tiga agama itu. Kendati ia adalah seorang “presiden” dari sebuah negara yang menaklukan Persia dan Syiria, namun penampilannya jauh dari kemewahan. “Umar datang hanya bersama seorang hamba sahaya, dengan menunggang seekor unta merah, membawa sekarung gandum, sekantung kurma, sebuah kantung terbuat dari kulit binatang, serta selembar tikar untuk shalat. Pengawalan pasukan yang ditawarkan, ia tolak”
Syahdan orang Kristen dan Yahudi Yerusalem yang menyaksikan kondisi Umar itu jadi menaruh rasa hormat dan kagum. Sebelumnya, mereka tak pernah melihat seorang penguasa besar berpenampilan laiknya rakyat kebanyakan. Tak juga Kisra Persia dan Kaisar Romawi.
Begitu sampai di perbatasan, kening Umar mengernyit. Kebalikan dari dirinya, ia justru menyaksikan para panglimanya menunggang kuda mewah dengan pakaian lengkap terbuat dari ragam sutera yang indah-indah. Demi melihat pemandangan tersebut, Umar tiba-tiba turun dari atas unta merahnya.
“Kenapa kalian berubah?!” teriaknya seraya mengambil beberapa genggam pasir, yang lantas ia lemparkan ke arah para panglimanya. Dengan cara itu, rupanya Umar ingin mengkritik perubahan gaya hidup para sahabat yang dinilainya telah melupakan nilai-nilai kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah.
Semua sahabat terdiam. Beberapa lantas berusaha menenangkan Umar. Sang khalifah tetap masih bertanya: “Kenapa kalian berubah?”
Salah seorang dari mereka lantas menjawabnya: “Ya amirul mukminin, ini kami lakukan semata-mata karena demi harga diri muslim di mata pemuka-pemuka Yahudi dan Kristen itu.” Tak saya nyana, alasan yang sama juga ternyata masih relefan hingga ribuan tahun kemudian. [hendijo/islam-indonesia/ilustrasi:istimewa]
Comments
Post a Comment